Kamis, 18 Juni 2015



Horas ...
Di Blog ini saya akan menjelaskan beberapa hal yang menjadi ciri Tanah Batak.

Yang pertama adalah Danau Toba.
Salah satu objek wisata di Sumatera Utara ini sudah sering kita dengar. Danau Toba memiliki luas 1.130 km2 Dan kedalaman maksimum 529m . Danau Toba ini mengelilingi sebuah pulau yang bernama pulau Samosir.
Ada cerita asal-usul terbentuknya Danau Toba ini. Dahulu ada seorang pemuda yang sedang memancing dan mendapat seekor ikan mas besar. Ternyata ikan itu berubah menjadi wanita cantik. Pemuda tersebut ingin menikahi wanita jelmaan ikan mas. Wanita itu memberikan syarat untuk pemuda, yaitu pemuda tersebut tidak boleh menceritakan kepada siapa pun bahwa wanita tersebut berasal dari ikan. Pemuda tersebut menyetujui syarat yang di berikan wanita itu dan mereka menikah. Mereka hidup bahagia dengan memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Samosir. setiap hari Samosir mengantar makanan untuk ayahnya di ladang. Suatu hari Samosir merasa sangat lelah saat mengantar makanan ke ladang ayahnya. Samosir pun beristiraha sejenak dan memakan makanan ayahnya. Setelah selesai makan, ia menjutkan perjalanan ke ladang. Ayahnya sangat kagek melihat yang tertinggal hanya sisa-sisa makanan. Ayahnya pun marah pada Samosir, dan mengatakan bahwa Samosir adalah keturunan ikan. Samosir menangis dan mengadu kepada ibunya dirumah. Ibunya sangat sedih dan menyuruh Samosir naik ke bukit yang paling tinggi di daerah tempat tinggal mereka. Samosir berlari menuju bukit tersebut. Langit mulai gelap, hujan turun dengan deras dan suara petir yang sangat kuat. Air meluap mengelilingi bukit tempat Samosir berdiri. Dan terbentukalah Danau Toba dengan Pulau Samosir.




Yang kedua adalah Tor-tor
Tor-tor adalah tarian daerah dari Sumatera Utara


 
Yang ketiga adalah Ulos
Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak Sumatera. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.
Ulos biasanya berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum dalam filsafat batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong Ulos pagihot ni holong” yang artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang diantara sesama.
Pada mulanya fungsi Ulos adalah untuk menghangkan badan, tetapi kini Ulos memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dalam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Setiap ulos mempunyai ‘raksa’ sendiri-sendiri, artinya mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu. Dewasa ini tidak sedikit perancang busana yang terpesona akan corak dan motif ulos dan membuat kreasi baru seperti: Baju, Gaun, Tas, dan lain-lain.
Dalam pandangan suku kaum Batak, ada tiga unsur yang mendasarkan dalam kehidupan manusia, yaitu darah, nafas, dan panas. Dua unsur terdahulu adalah pemberian Tuhan, sedangkan unsur ketiga tidaklah demikian. Panas yang diberikan matahari tidaklah cukup untuk menangkis udara dingin di pemukiman suku bangsa batak, lebih-lebih lagi diwaktu malam.Menurut pandangan suku bangsa batak, ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan Ulos. Ulos sendiri berfungsi memberi panas yang menyehatkan badan dan menyenangkan fikiran sehingga kita gembira dibuatnya.
Dikalangan orang batak sering terdengar ‘mengulosi’ yang artinya memberi Ulos, atau menghangatkan dengan ulos. Dalam kepercayaan orang-orang Batak, jika (tondi) pun perlu diulos, sehingga kaum  lelaki yang berjiwa keras mempunyai sifat-sifat kejantanan dan kepahlawanan, dan orng perempuan mempunyai sifat-sifat ketahanan untuk melawan guna-guna dan kemandulan.
Dalam hal mengulosi, ada aturan yang harus dipatuhi, antara lain orang hanya boleh mengulosi mereka yang menurut kerabatan berada dibawahnya, misalnya orang tua boleh mengulosi anak, tetapi anak tidak boleh mengulosi orang tua. Jadi dalam prinsip kekerabatan Batak yang disebut ‘Dalihan Na tolu’, yang terdiri atas unsur-unsur hula-hula boru, dan dongan sabutuha, seorang boru sama sekali tidak dibenarkan mengulosi hula-hulanya. Ulos yang diberikan dalam mengulosi tidak boleh sebarangan, baik dalam macam maupun cara membuatnya.
Sebagai satu contoh, ulos ragidup yang akan diberikan kepada Boru yang akan melahirkan anak sulungnya haruslah yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni ulos yang disebut ‘ulos sinagok’. Untuk menulosi pembesr atau tamu kehurmat, ‘Ulos ragidup silingo’, iaitu ulos yang diberikan kepada mereka yang dapat memberikan perlindungan (mangalinggomi) kepada orang lain.
Berikut akan di menjabarkan nya satu persatu:

1. Ulos ragidup



yang tertinggi derajatnya, sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga bagian, yaitu dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenum tersendiri dengan sangat rumit. Bagian tengahnya terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian tengah atau badan, dan dua bagian lainnya sebagai ujung tempat pigura lelaki (pinarhalak hana) dan ujung tempat pigura perempuan (pinarhlak boru-boru). Setiap pigura diberi beraneka ragam lukisan, antara lain ‘antiganting sigumang’, batuhi ansimun, dsb.
Warna, lukisan, serta corak (ragi) memberi kesan seolah-olah ulos benar-benar hidup, sehingga orang menyebutnya ‘ragidup’,  yaitu lambang kehidupan. Setiap rumah tangga Batak mempunyai ulos ragidup. Selain lambang kehidupan, ulos ini juga lambang doa restu untuk kebahagian dalam kehidupan, terutama dalam hal keturunan, yakni banyak anak (gabe) bagi setiap keluarga dan panjang umur (saur sarimatua). Dalam upacara adat perkawinan, ulos ragidup diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki sebagai ‘ulos pargomgom’ yang maknanya agar besannya ini atas izin Tuhan tetap dapat melalui bersama sang menantu anak dari sipemberi ulos tadi.

2. Ulos ragihotang



juga termasuk berderajat tinggi, namun cara pembuatannya tidak serumit ulos ragidup. Hotang bererti rotan, dan raksa ulos ini mempunyai keistimewaan yang dapat diikuti dari keempat umpasannya. Ulos ini digunakan untuk mengulosi seseorang yang dianggap picik dengan harapan agar Tuhan akan memberikan hasil yang baik, dan orng yang rajin berkerja. Dalam upacara kematian, ulos ini dipaki untuk membungkus jenazah, sedangkan kepada upacara pengkuburan kedua kalinya, untuk membungkus tulang-belulangnya. Ulos sibolang juga digolongkan sebagai ulos berderajat tinggi, sekalipun cara pembuatannya lebih sederhana.

3. Ulos sibolang




semula disebut sibolang sebab dibeikan kepada orang yang berjasa untuk ‘mabulangbulangi’ (menghormati) orang tua penggantin perempuan untuk mengulosi ayah pengantin lelaki sebagai ‘ulos pansaniot’. Dalam suatu pesta perkawinan, dulu ada kebiasaan memberikan ‘ulos siholang si toluntuho’ oleh orang tua pengantin perempuan kepada menantunya sebagai ulos bela (ulos menantu). Pada ulos si toluntuho ini raginya tampak jelas mengambarkan tiga buah tuho (bagian) yang merupakan lambang Dalihan Na Tolu.
Mengulosi menantu lelaki dimaksudkan agar ia selalu berhati-hati dengan teman-teman semarga, dan faham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada semua kerabat pihak isteri; dan lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu, ulos ini diberikan kepada seorang wanita yang tinggal mati suaminya sebagai tanda menghormati jasanya selama menjadi isteri almarhum. Pemberian ulos tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara berkabung, dan dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahawa ia telah menjadi seorang janda. Ulos-ulos lain yang digunakan dalam upacara adat, antara lain, ‘ulos meratur’ dengan motif garis-garis yang mengambarkan burung atau banyak bintang tersusun teratur.
Biasanya ulos ini digunakan sebagai ‘ulos parompa’ dengan harapan agar setelah anak pertama lahir akan menyusul kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos tersebut. Jenis lain adalah ‘ragi botik, ragi angkola, sirata, silimatuho, holean, sinar labu-labu, dsb. Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan dalam tiga golongan:

– Ulos nametmet, yang ukurng panjang dan lebarnya jauh lebih kecil, tidak digunakan dalam upacara adat, melainkan untuk dipakai sehari-hari. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain ulos sirampat, ragi huting, namarpisaran, dan sebagainya.


– Ulos nabalga; adalah ulos kelas tinggi atau tertinggi. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima. Yang termasuk didalam golongan ini ialah: sibolang, runjat jobit, ragidup atau ragi hidup, dsb. Cara memakai ulos bermacam-macam tergantung pada situasinya.
Ada orng memakai ulos dibahunya (dihadang atau sampe-sampe) seperti pemakaian selendang berkebaya; ada yang memakainya sebagai kain sarung (diabithon), ada yang melilitkannya dikepala (dililitohon) dan ada pula yang mengikatnya secara ketat dipinggang. Arti dan fungsi kain selendang tenun khas Batak ini sejak dulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan, kecuali beberapa variasi yang disesuaikan dengan kodisi sosial budaya. Ulos kini tidak hanya berfungsi sebagai lambang penghangat dan kasih sayang, melainkan juga sebagai lambang kedudukan lambang komunikasi, dan lambang solidaritas.






Yang keempat adalah Si Gale-gale
Si Gale-gale merupakan boneka kayu yang di kendalikan oleh manusia. Boneka ini mengenakan ulos batak sebagai pakaian nya dan menari tor-tor.

Di ceritakan Dahulu kala ada seorang Raja yang sangat bijaksana yang tinggal di wilayah Toba. Raja ini hanya memiliki seoang anak, namanya Manggale. Pada zaman tersebut masih sering terjadi peperangan antar satu kerajaan ke kerajaan lain.

Raja ini menyuruh anaknya untuk ikut berperang melawan musuh yang datang menyerang wilayah mereka. Pada saat peperangan tersebut anak Raja yang semata wayang tewas pada saat pertempuran tersebut.

Sang Raja sangat terpukul hatinya mengingat anak satu-satunya sudah tiada, lalu Raja jatuh sakit. Melihat situasi sang Raja yang semakin hari semakin kritis , penasehat kerajaan memanggil orang pintar untuk mengobati penyakit sang Raja, dari beberapa orang pintar (tabib) yang dipanggil mengatakan bahwa sang Raja sakit oleh karena kerinduannya kepada anaknya yang sudah meninggal. Sang tabib mengusulkan kepada penasehat kerajaan agar dipahat sebuah kayu menjadi sebuah patung yang menyerupai wajah Manggale, dan saran dari tabib inipun dilaksanakan di sebuah hutan.

Ketika Patung ini telah selesai, Penasehat kerajaan mengadakan satu upacara untuk pengangkatan Patung Manggale ke istana kerajaan. Sang tabib mengadakan upacara ritual, meniup Sordam dan memanggil roh anak sang Raja untuk dimasukkan ke patung tersebut. Patung ini diangkut dari sebuah pondok di hutan dan diiringi dengan suara Sordam dan Gondang Sabangunan.

Setelah rombongan ini tiba di istana kerajaan , Sang Raja tiba-tiba pulih dari penyakit karena sang Raja melihat bahwa patung tersebut persis seperti wajah anaknya.